Selasa, 09 Maret 2010

CITRA ISLAM DALAM BINGKAI TERORISME

Oleh. Nur Ariyanto

Wacana terorisme agaknya menjadi isu kontemporer yang paling hangat dan banyak dibicarakan dalam dekade ini. Isu penting yang membuka mata dunia untuk lebih waspada terhadap ancaman kekerasan global ini tidak terlepas dari peristiwa yang menimpa Amerika Serikat pada 11 september 2001 silam, walaupun sebenarnya terorisme sudah melekat dalam sepanjang sejarah manusia.
Kehadiran media massa dalam peristiwa itu telah mentranformasikan sebuah kejadian lokal yang terjadi di Manhattan menjadi peristiwa global dan disaksikan seluruh dunia. Dari layar kaca kita dapat melihat bagaimana sebuah pesawa menabrak gedung WTC yang begitu megah sehingga menimbulkan ledakan dahsyat dan membuat simbol kedigdayaan ekonomi Amerika itu runtuh perlahan-lahan runtuh menjadi puing
Terlepas dari siapapun pelaku aksi keji itu, tampaknya Amerika Serikat melihat ini sebagai momen emas dan secara sistematis memanfaatkanmya untuk membangun ’opini publik dunia’ tentang ancaman terorisme, terutama yang berasal dari kelompok Islam militan. Amerika Serikat memang negara yang cerdik bermain media dan piawai dalam mendramatisir informasi. Sekecil apapun peristiwa yang berbau teror, apalagi mengatasnamakan atau membawa simbol Islam —terlepas peristiwa tersebut hasil rekayasa atau tidak— akan di ekspos media secara dramatis untuk kepentingannya. Tidak mengherankan pula beberapa hari setelah peristiwa itu organisasi Al-Qaeda pimpinan Ossama Bin Laden diumumkan sebagai pelaku.
Untuk lebih memuluskan langkahnya Amerika memanfaatkan berbagai media massa internasional. Amerika Serikat juga mengajak seluruh negara agar bekerjasama secara aktif dalam perang tanpa batas waktu dan teritorial. Hal ini menjadi absurd, karena dalam pandangan Amerika Serikat terorisme identik dengan ’fundamentalisme’ Islam. Maka jika kampanye mereka adalah war against terorism, bisa di pahami kalau itu adalah war against Islam.
Pernyataan perang Amerika melawan terorisme global, terutama Islam fundamentalis totalitarian itu menggambarkan upaya Barat untuk menguasai politik dunia dengan kondisi perang yang berkelanjutan. Perang melawan terorisme global telah menjadi semacam perang dunia karena melibatkan banyak negara dalam bentuk kerjasama militer dan intelejen dibawah komando Amerika Serikat. Politik dunia dalam situasi perang besar tanpa skenario perdamaian ini telah menjepit posisi gerakan Islam fundamentalis yang anti Barat (Turmudi, 2005:17).
Pembentukan opini publik menjadi sangat penting bagi Amerika Serikat. Meskipun laksana hantu, peranan opini publik terhadap proses dinamika sosial sangatlah penting. Opini publik dapat bertahan puluhan tahun dan jika belum ada ”koreksi” yang kuat terhadap opini yang sebelumnya, opini itu akan mengendap menjadi nilai-nilai sosial yang membentuk persepsi atau stereotipe masyarakat terhadap suatu masalah. Opini publik yang digulirkan oleh aktor-aktor komunikator yang ulung dan dilakukan dengan proses rekayasa penggalangan opini yang serius dapat memberi dampak yang besar terhadap afektif, kognitif dan perilaku masyarakat (Husaini, 2002: XL). Opini publik yang telah terbentuk terkait ancaman fundamentalisme Islam akan membuahkan keberpihakan kepada mereka (Amerika Serikat serikat dan sekutunya).
Sesungguhnya dibalik kampanye war on terrorism yang dilancarkan Amerika Serikat tengah terjadi perang wacana dengan dua target yaitu; 'monsterisasi' terorisme dan 'pembusukan' terhadap Islam dan umat Islam.
Negara-negara Barat memiliki kepentingan dengan dua target diatas. Monsterisasi terorisme sering dijadikan Barat terutama AS sebagai alat legitimasi untuk melakukan intervensi ke negara lain, seperti yang dilakukan terhadap Afghanistan dan Irak, juga Indonesia. Sementara pembusukan Islam dilakukan untuk memilah umat Islam menjadi dua kelompok. Kelompok yang setuju kepada AS akan dirangkul dan disebut moderat, sementara kelompok yang menentang 'penjajahan' AS akan disebut teroris, fundamentalis radikal, dan anti Barat.
Stigmatisasi negatif terhadap Islam tersebut akan menjadikan umat Islam takut untuk menampakkan keIslamannya, mendorong kaum Muslim bermental hipokrit, dan membuat umat Islam sekular dengan Islam mencampakkan Islam dari kehidupan mereka. Akhirnya Islam akan lenyap dari kehidupan karena hanya sedikit orang yang mau mengembannya.
Perang Melawan Terorisme” bukan merupakan jargon baru yang didengungkan Amerika Serikat dan sekutunya. Kampanye ini juga bukanlah sebuah proyek yang bebas nilai atau steril dari kepentingan. Sebaliknya, terorisme telah menjadi sebuah isu yang didesain sedemikian rupa dan dimanfaatkan AS untuk lebih mencengkeramkan hegemoninya di seluruh dunia.
Opini publik dunia terutama yang terbentuk atas propaganda Amerika dan sekutunya itu sangat merugikan umat Islam terutama hubungannya dengan dunia Barat. Stigmatisasi terorisme terhadap Islam semakin menyulut kebencian yang mendalam dalam dunia Barat yang notabene telah mengalami trauma sejarah yang pahit dengan umat Islam akibat peristiwa perang salib (1096-1270 M). Maka sangat wajar kalau Bush sempat mengatakan bahwa usaha mereka melawan terorisme itu sebagai ’perang salib’, sebelum akhirnya mendapat kritikan pedas dari berbagia pihak yang memaksa dia meminta maaf atas ucapannya itu.
John L Esposito mengugkapkan bahwa citra umum yang berkembang di Barat saat ini bahwa Islam adalah agama pedang. Dunia Barat juga beranggapan bahwa kaum muslimin diperintahkan untuk menggunakan segala macam cara, termasuk paksaan dan peperangan, untuk menyebarkan dan menerapkan agama mereka. Isu seperti ini dan berbagai isu lainnya menjadi spektrum opini (Esposito, 2003:81). Film ’fitna’ yang pernah dibuat oleh Geert Wilders seorang anggota parlemen Belanda telah menjadi salah satu contoh gambaran konkrit apa yang ada dibenak mereka mengenai Islam.
Dalam film dokumenter yang berdurasi 14 menit itu Wilders menuduh dan memojokkan Islam dengan mengatakan bahwa al-qur’an merupakan kitab yang mengajarkan kekerasan dan pembunuhan serta membenarkan terorisme. Untuk menguatkan pendapatnya antara lain dia mengutip surat Al-Anfal ayat: 60.
Usaha Amerika Serikat dalam membentuk opini dan mempengaruhi dunia untuk melibatkan diri dalam perang melawan terorisme global tampaknya cukup membuahkan hasil, mereka memperoleh banyak dukungan terutama dari pemerintah berbagai negara yang sering menjadi sasaran terorisme termasuk Indonesia.
Sejak tahun 2000 di Indonesia tealah terjadi belasan aksi peledakan bom, dan yang terbesar dan banyak menyita dunia adalah Bom Bali I yang terjadi pada bulan oktober 2002. Peristiwa itu sendiri sedikitnya memakan sekitar 200 korban jiwa yang kebanyakan warga Australia. Peristiwa itu sendiri diduga kuat dilakukan oleh Jamaah Islamiyah yang memiliki kaitan erat dengan jaringan terorisme internasional Al-Qaeda
Sebagai negara dengan komunitas muslim terbesar didunia Indonesia berpotensi menjadi lahan subur berkembangnya ’fundamentalisme Islam’ yang berpotensi melahirkan-dalam kacamata miring Barat-terorisme.

Fundamentalisme Islam vs Barat.

Istilah fundamentalisme, secara etimologi berarti dasar. Sedangkan secara terminologi, fundamentalisme adalah aliran pemikiran keagamaan yang cenderung menafsirkan teks-teks keagamaan secara rigid (kaku) dan literalis (tekstual). Menurut Espossito Istilah ”fundamentalisme” Islam biasanya dipakai-baik oleh kalangan akademis maupun media massa untuk- untuk merujuk pada gerakan-gerakan Islam politik yang berkonotasi negatif seperti ”radikal, ekstrem , dan militan”serta”anti-Barat/Amerika”. Namun tidak jarang pula julukan fundamentalisme di berikan kepada semua orang Islam yang menerima al-Qur’an dan hadits sebagai jalan hidup mereka. (Turmudi ed, 2005:54)
Sementara itu menurut Jurgen Habermas Predikat fundamentalisme dipakai untuk mencirikan suatu mentalitas yang khas, suatu sikap yang kepala batu yang menekankan didesakkannya secara politis keyakinan serta alasan alasan mereka sendiri, bahkan jika itu jauh dari berterima secara rasional. Ini terutama berlaku bagi kepercayaan-kepercayaan keagamaan
Lebih lanjut Habermas menjelaskan sifat-sifat mentalitas yang beku dari kaum fundamentalis dapat membangkitkan disonansi-disoansi kognitif yang mencolok. Regresi ini terjadi ketika sebuah perspektif dunia yang mencakup segalanya kehilangan kemurnian situasi-situasi epistemologisnya, dan ketika dibawah kondisi-kondisi pengetahuan ilmiah dan pluralisme keagamaan, gerakan kembali kepada eklusivitas sikap-sikap kepercayaan yang para-modern di sebarluaskan. Sikap-sikap ini membangkitkan disonansi-disonansi kognitif yang mencolok karena keadaan lingkungan yang kompleks didalam masyarakat-masyarakat yang normal-hanya cocok dengan pengertian universalisme yang sempit. . (Borradori, 2005:47)
Ketika rezim kontemporer seperti Iran menolak pemisahan antara negara dan agama, atau ketika gerakan-gerakan yang diilhami agama berjuang kembali untuk membangun kembali teokrasi maka itu disebut sebagai fundamentalisme.
Namun John L. Esposito, sebagaimana dikutip oleh M. Imdadun Rahmat dalam bukunya yang berjudul ”Arus Baru Islam Radikal, Transmisi Revivalisme Islam Timur Tengah Ke Indonesia”, menyatakan kalau dia tidak sepakat ketika gerakan Islam ini dilkatkan sebagaimana pada kasus kristen yang dituduh sebagai kelompok literalis, statis dan ekstrem, karena pada gilirannya fundamentalisme dimaknai gerakan atau kelompok yang mengacu pada literalisme dan berharap kembali pada kehidupan masa lalu. Bahkan lebih jauh lagi, Esposito mengkritik mereka yang mengartikan fundamentalisme secara sembrono dengan menyamakannya dengan ekstremisme, fanatisme, aktivisme politik, terorisme dan anti-Amerika (Rahmat, 2005:xxvii)
Sepanjang sejarah dunia, tidak ada agama dan umatnya terbebas dari gerakan fundamentalis yang bercorak radikal dalam termasuk Islam. Munculnya gerakan keagamaan yang bersifat radikal merupakan fenomena penting yang turut mewarnai citra Islam kontemporer. Masyarakat dunia belum bisa melupakan peristiwa revolusi Iran pada 1979 yang berhasil menampilkan kalangan mullah ke atas paggung kekuasaan. Itulah peristiwa yang dianggap sebagai titik tolak kebangkitan Islam kontemporer yang menimbulkan ’kengerian’ bagi dunia Barat.
Maraknya gerakan fundamentalisme dalam masyarakat Muslim secara langsung makin memperteguh citra lama Islam bahwa pada dasarnya agama ini bersifat radikal dan intoleran. Kesan ini sulit terbantahkan, karena gelombang fundamentalisme Islam telah menjadi bagian penting dari rentetan kekisruhan politik sejak pertengahan abad ini.
Kemunculan gerakan fundamentalisme Islam yang sering di identikkan dengan Islam radikal sedikit banyak di dorong kondisi umat Islam yang masih tertinggal dari umat lain terutama dalam pendidikan dan ekonomi. Kedua faktor utama ini menyebabkan kaum muslimin merasa dunia Barat khususnya para penguasanya, tidak adil dalam politik terhadap umat Islam. Hegemoni Barat bukan hanya menonjol dalam bidang politik, ekonomi, dan sosial, tetapi juga dalam pemahaman keagamaan dan kultural. Dalam hal ini negara-negara Islam tengah mengalami proses liberalisasi dan westernisasi yang mengancam identitas kultural mereka yang banyak diinspirasikan oleh ajaran Islam. Dengan demikian, raison d'etre untuk menegakkan Islam tampaknya tidak sebatas dmotivasi oleh imperatif teologis, tetapi juga didorong oleh perjuangan mendapatkan kembali identitas kultural serta historis.
Sedangkan ditinjau dari proses kelahirannya fundamentalisme Islam merupakan reaksi terhadap krisis berganti-ganti dari berbagai ideologi dan merupakan gerakan yang mencoba menawarkan Islam sebagai sebuah ideologi alternatif. Secara ideal kelompok fundamentalis Islam mereka memang berusaha untuk menerapkan ajaran-ajaran agama secara menyeluruh termasuk dalam kehidupan bernegara, tetapi metode dan pemahaman atas teks suci serta imperatif-imperatif yang dikandungnya saling berbeda.
Menurut Prof. Dr. Bassam Tibi, seorang guru besar hubungan internasional Gottingen University Jerman, sekurang-kurangnya ada dua hal yang melandasi lahirnya fundamentalisme Islam. Pertama, munculnya negara-negara bangsa di Eropa yang berawal sejak meletusnya revolusi perancis hingga kemerdekaan bangsa-bangsa yang dijajah oleh bangsa eropa. Sebelumnya, ide negara bangsa itu belum ada. Namun ketika muncul negara bangsa maka itu mendorong lahirnya fundamentalisme Islam yang ingin menjadikan Islam sebagai ideologi alternatif bagi berdirinya sebuah pemerintahan nasional.
Kedua, terkait erat dengan yang pertama, lahirnya fundamentalisme Islam didorong oleh gagalnya penerapan ideologi Barat untuk diterapkan dalam negara-negara muslim yang baru merdeka tersebut (Tasfirul Afkar, 2002: 118).
Hal itulah yang mendorong berdirinya beberapa kelompok fundamentalis Islam di timur tengah, salah satunya Ikhwanul Muslimin di Mesir. Organisasi yang didirikan Hasan Al-Banna pada tahuhun 1928 ini banyak menginspirasi gerakan fundamentalisme Islam diberbagai belahan dunia. Berbagai konflik di Timur Tengah yang tak kunjung usai juga menjadi tempat asal penyusupan pikiran radikal bagi umat Islam, hal itu di picu ulah elit politik yang menunjukkan prilaku yang kurang Islami.
Pasca berakhirnya perang dingin dan runtuhnya Uni Soviet, fundamentalisme Islam secara langsung dianggap mengancam eksistensi peradaban Barat. Beberapa pembuat keputusan di Barat melihat kebangkitan Islam sebagai anti peradaban Barat karena didalamnya mengandung identitas politik Islam. Sebagian besar orang Barat yang mempercyai paradigma realisme politik berpendapat bahwa Islam fundamentalis lebih mencerminkan sebagai suatu penolakan terhadap universalisme Barat daripada kesalihan pemeluk Islam. Realisme politik hanya mengenal kekuatan dan kepentingan di bawah peradaban ”universal”, tidak mengenal politik Islam. (Turmudi ed, 2005: 26).
Barat melihat fundamentalisme Islam merupakan ancaman dalam proses demokratisasi dan liberalisasi dunia Islam. Sedangkan liberalisasi dunia Islam sendiri bermakna menegakkan peradaban Barat yang menekankan tumbuhnya kebudayaan modernitas dan menjunjung tinggi nilai-nilai universal. Untuk itulah kekuatan hegemoni Barat sengaja membentuk opini publik dunia bahwa Islam fundamentalis cenderung menggunakan teror atau kekerasan dalam memperjuangkan tujuannya.
Teori realisme politik menempatkan pembentukan pendapat publik pada posisi penting dalam pengokohan hegemoni kekuasaan dan hegemoni pemaknaan kepentingan nasioal. Pendapat publik dunia nantinya diharapkan akan mengkristal dan membuahkan dukungan terhadap Barat yang dipimpin amerika serikat dalam melawan eksistensi Islam fundamentalis.
Dalam perjalanannya ternyata liberalisasi masyarakat dunia Islam tidak sesuai harapan Barat. Demokrasi dunia Islam tidak otomatis menumbuhkan kebudayaan modernitas dan menyuburkan ideologi universal di luar tanah asalnya. Kosmopolitanisme tampaknya tidak tumbuh merata diseluruh penjuru banyak negeri bekas jajahan. Sebaliknya demokratisasi telah menyuburkan parokhialisasi, dimana politik identitas Islam justru makin menguat dan mendapat dukungan mayoritas pemilih. Kelompok Islam fundamentalis meyakini bahwa kebangkitan Islam menjadi bagian dari gerakan kemerdekaan menentang bentuk penjajahan baru Barat.
Hal itu membuat Barat merasa berang dan menganggap kalau fundamentalis Islam telah membajak demokrasi untuk memasukan ideologi mereka melalui cara yang konstitusional, cotohnya yang terjadi di Al-Jazair pada sekitar tahun 1991. Kekuatan hegemoni Barat jelas terlibat dalam pembatalan kemenangan FIS (front Islamique du salut) oleh rezim militer. Hal yang sama dilakukan terhadap Partai Refah di Turki dan HAMAS di Palestina.
Fenomena diatas menunjukan kalau sebenarnya demokrasi yang di kehendaki Barat adalah demokrasi dalam ’cita rasa Barat’ yang menumbuhkan modernisme serta menolak identitas politik Islam yang anti sekulerisme. Lebih dari itu, kedok pembebasan dan demokratisasi dunia Islam seringkali dipakai Barat dalam mencengkramkan kukunya di dunia Islam, contohnya pendukan militer Amerika Serikat terhadap Afghanistan dan Irak. Semua itu semakin mempertegas paradigma realisme politik bahwa struktur dominasi dunia tidak bisa mengakomodasi identitas masyarakat yang anti demokrasi Barat terutama kalangan Islam fundamentalis. Oleh karena itu Barat merancang berbagai macam strategi untuk menghancurkan gerakan tersebut, diantaranya melalui isu terorisme.

Islam dan terorisme.

Terminologi Terorisme di dunia internasional telah bias dan selalu dikaitkan dengan umat Islam. Bahkan, Amerika Serikat telah memanfaatkan isu terorisme sebagai dalih untuk campur tangan diberbagai negara termasuk Indonesia. Wacana ‘terorisme’, juga selalu dilaitkan dengan radikalisme, fundamentalisme, ataupun militanisme yang ujung ujungnya mengarah kepada pendiskreditan umat Islam, terutama yang berhluan keras. Pembahasan masalah terorisme sering dikaitkan dengan konsep-konsep dalam Islam semisal jihad dan penegakan syariat Islam.
Meletakkan fenomena terorisme dalam spektrum kehidupan yang kompleks seperti sekarang ini bukanlah perkata yang mudah. Perebutan kepentingan dan hegemoni berlangsung di setiap ruang kehidupan di muka bumi ini. Dalam lalu-lintas dunia yang rumit dan sarat kerakusan itulah terorisme memperoleh ruang untuk tumbuh subur. Arogansi negara, kelompok, dan siapapun yang digdaya tak akan pernah ada habisnya, oleh karena itu pelaku teror bisa siapa saja. Bisa perorangan atau kelompok, bahkan ada terorisme negara (state-terorism).
Terorisme selalu menyimpan banyak kemusykilan, sekaligus keganjilan, sebab dan polanyapun beragam, tapi hasil akhirnya sama yakni ketakutan, ketidakamanan, dan korban. Akan tetapi jika semua itu dikaitkan dengan Islam rasanya itu bukan suatu yang tepat. Yang mungkin terjadi isu terorisme justru sengaja dipakai Barat untuk mendiskreditkan Islam. Kemungkinan lain, ajaran Islam dipahami dengan perspektif yang salah oleh sekelompok kecil umat Islam sehingga terjadi penyelewengan berupa aksi kekerasan dan terorisme.
Munculnya permusuhan Islam dan dunia Barat pada era modern ini terjadi ketika Barat sudah tidak lagi menemukan musuh besarnya, yakni komunisme. Oleh karena itulah barat mengarahkan kekuatannya untuk menghalau kekuatan lain yang berpotensi mengancam peradaban mereka, dalam hal ini Islam. Permusuhan itu semakin diperuncing dengan ulah dunia Barat sering melakukan intervensi atas bangsa-bangsa Islam karena ingin merebut sumber daya alam yang masih melimpah. Ketika muncul perlawanan terhadap kesewenang-wenangan Barat saat itulah tumbuh radikalisme.
Jadi sebenarnya aksi terorisme lebih sering muncul sebagai reaksi terhadap kesewenang-wenangan Barat terhadap dunia Islam. Amerika dan sekutu-sekutuya telah terlalu banyak turut campur tangan dalam urusan dalam negeri dan bersikap arogan di berbagai negara Islam. Terlalu banyak darah kaum muslimin yang tercecer di tanah kelahiran mereka sendiri seperti di Afghanistan, Irak. Dengan dalih memberantas terorisme, menegakkan HAM, demokrasi dan setumpuk propaganda lainnya mereka tega merobohkan rumah-rumah dan membunuhi penghuninya. Padahal sejatinya itu semua hanya kedok Imperialisme gaya baru yang coba diterapkan atas dunia Islam. Jutaan warga sipil yang menjadi korban agresi mereka itu tak sebanding dengan korban yang jatuh dalam peristiwa 11 september di Manhattan. Belum lagi korban umat Islam yang timbul dari berbagai dukungan mereka terhadap kediktatoran rezim militer diberbagai negara Islam. Itulah aksi terorisme yang sesungguhnya. Artinya jika Amerika Serikat dan sekutunya mengatakan para teroris sebagai ’biadab’, maka sesungguhnya mereka telah mengatakan dirinya sendiri sebagai ’biangnya kebiadaban’.
Dalam kebijakan luar negerinya, Amerika Serikat juga sering menerapkan standar ganda, hal ini secara mudah dapat dilihat dalam konflik Palestina-Israel. Perjuangan bangsa palestina untuk memerdekakan diri sering dianggap sebagai tindakan terorisme, sedangkan tindakan agresi Israel dianggap sebagai upaya mempertahankan diri. Di Palestina, pasukan bersenjata dan tank-tank Israel menghancurkan desa dan kota, meratakannya dengan tanah serta membunuh laki-laki, perempuan dan anak-anak tak berdosa. Semuanya ini dilakukan atas persetujuan Amerika dengan hak vetonya di Dewan Keamanan PBB.
Sebenarnya dalam logika penjajahan, merupakan kewajaran kalau negara yang terjajah –dalam hal ini Palestina- berusaha melepaskan diri dari penjajahnya dengan cara apapun. Merupakan kewajaran pula kalau Amerika dan sekutunya melakukan berbagai kesewenang-wenangan diberbagai negara Islam sehingga membuat umat Islam bereaksi. Namun secara cerdik Amerika Serikat dan Barat menggelindingkan ’bola panas’ terorisme dalam menanggapi reaksi dunia Islam itu.
Sebagai agama, ajaran Islam sudah pasti menentang segala bentuk dan tindakan terorisme. Namun dalam pelaksanaan oleh para pengikutnya, agama Islam kerap maju sebagai sosok politik dan ideologi. Dengan begitu, hampir pasti tak bisa mengelak jika dipakai oleh para aktivis Islam ekstrim untuk melakukan justifikasi bagi aksi kekerasan terorisme.  Ummat Islam yang hidup dalam kemiskinan dan kebodohan serta ketidakadilan adalah lahan subur untuk berpikir secara radikal. Mulailah dipelintir kata-kata penting dalam Islam. Misalnya jihad dan syariat serta beragama yang kaffah dalam pengertian yang sempit.
Kita patut mencermati tulisan Karen Armstrong dalam artikelnya yang dimuat dalam harian Inggris terkemuka The Guardian, sebagaimana dikutip oleh swaramuslim.com. Dia menuliskan bahwa, "Kita membutuhkan satu kata yang lebih pas dari sekedar kata 'teroris Islam'. Al-Qur'an melarang peperangan yang bersifat menyerang, perang dibolehkan hanya untuk kepentingan mempertahankan diri dan nilai-nilai Islam yang benar mengajarkan perdamaian, rekonsiliasi dan pemberian maaf."
Armstrong , juga mengkritik stereotipe kata 'Jihad' yang berasal dari bahasa Arab yang semata-mata diartikan dengan perang suci. Menurutnya para ekstrimis dan politikus yang tidak bermoral sudah mencuri kata itu untuk tujuan-tujuan mereka sendiri, makna sebenarnya dari Jihad bukan hanya 'perang suci' tapi 'perjuangan' atau 'ikhtiar'. Umat Islam diperintahkan untuk berjuang sekuat tenaga di berbagai aspek-sosial, ekonomi, intelektualitas, etika dan spiritual-untuk melaksanakan perintah Tuhan dalam kehidupan sehari-hari (swaramuslim.com).










Daftar Pustaka

Borradori, Giovanna. 2005. Filsafat Dalam Masa Teror. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
Esposito, John L.. 2003. Unholy War, Teror Atas Nama Islam. Yogyakarta: Ikon Teralitera
Rahmat, M. Imdadun. 2005. Arus Baru Islam Radikal, Transmisi Revivalisme Islam Timur Tengah Ke Indonesia. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Turmudi, Endang ed. 2005. Islam Dan Radikalisme di Indonesia. Jakarta: LIPI Press.
Jurnal tashfirul afkar. 2002. Menggugat Fundamentalisme Islam. Jakarta: LAKPESDAM NU
http://www.swaramuslim.com. Kolom opini 10 May 2006 - 5:00 pm

1 komentar:

  1. Playtech casino | Dr.MCD
    Playtech casino. A virtual casino, 부산광역 출장안마 a fun and full-on experience, it's a dream 전라북도 출장마사지 to meet new players 남원 출장안마 at their 이천 출장안마 site! Playtech casino is powered by TopGame, a leading provider 강원도 출장안마

    BalasHapus