Kamis, 11 Maret 2010

ARTI PENTING SEBUAH TABAYYUN

Betapa Allah telah menjadikan umat Islam sebagai umat yang utama, yang diperintahkan untuk menyeru kepada yang ma’ruf dan menjauhi yang munkar. Allah juga telah menyatakan bahwa agama ini adalah agama yang satu dan kita diperintahkan untuk bertakwa kepada-Nya,

“Dan sungguh, (agama tauhid) ini adalah agama kamu, agama yang satu dan Aku adalah tuhan-Mu, maka bertakwalah.” (Al-Mukminun: 52)

Persatuan umat Islam dalam ikatan tauhid sangat diperlukan untuk meraih derajat umat yang utama dan mulia baik dalam kehidupan dunia maupun akhirat kelak. Dengan persatuan itulah umat ini mempunyai sebuah kekuatan untuk melaju dan menghalau berbagai badai yang menghadang. Hingga datangnya pertolongan Allah dan kemenangan yang gemilang sebagaimana telah dijanjikan oleh-Nya.
Namun realita yang ada sekarang ini sangat jauh dari yang diharapakan, persatuan umat dalam bendera tauhid telah tercerabut dengan munculnya berbagai firqoh yang berkembang. Masing-masing firqoh tersebut merasa benar dan bangga dengan apa yang ada pada dirinya sehingga terkadang menimbulkan pertikaian dalam intern umat Islam itu sendiri. Perbedaan yang seharusnya menjadi anugrah justru berbuah petaka. Hal itu merupakan realitas sejarah yang tidak dapat dipungkiri.
Diantara akar permasalahan yang menjadi penyebab perpecahan adalah adanya kecurigaan dan prasangka buruk. Hal ini tidak terbatas pada level kelompok besar umat Islam saja tetapi terkadang juga menyentuh komponen terkecil umat yaitu individu-individu muslim. Berbagai kecurigaan dan prasangka buruk itu terkadang tidak berdasar dan tidak terbukti kebenaranya. Salah satu penyebabnya adalah karena terlalu cepat menyimpulkan berita yang sampai ditelinga.tanpa adanya sebuah tabayyun (klarifikasi) terlebih dahulu. Padahal Allah SWT telah mangajari kita bagaimana menyikapi sebuah berita.

“Wahai orang-orang yang beriman jika seseorang fasik datang kepadamu membawa suatu berita, maka telitilah kebenaranya,agar kamu tidak mencelakakan suatu kaum karena suatu kebodohan (kecerobohan), yang akhirnya kamu menyesali perbuatanmu itu” (Al-hujurat:6)

Betapa sering kita menyaksikan seorang Muslim menjatuhkan petaka pada saudaranya sendiri karena kecerobohannya. Terkadang mereka berbuat tidak adil dalam memutuskan sebuah perkara hanya dengan pertimbangan prasangka dan informasi dari satu sumber yang belum tentu kebenaranya. Hal itu tentu saja sangat bertentangan dengan firman Allah,

“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan.” (An-Nahl:90)

Lebih jauh mereka seringkali menceburkan diri mereka dalam kesalahan dengan berprasangka dan mencari-cari kesalahan orang lain dan mempergunjingkanya. Bahkan aib yang ada pada saudaranya terkadang menjadi komoditas yang begitu indah untuk dibicarakan dan begitu menarik untuk didiskusikan. Hal itu dilakukan bukan untuk membantu mencarikan sebuah jalan keluar tetapi hanya sebagai sebuah olok-olok. Mereka tidak memperhatikan firman Allah,

“Wahai orang-orang yang beriman! Jauhilah banyak dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa, dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain, dan janganlah kamu menggunjing sebagian yang lain. Apakah ada diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Tentu kamu merasa jijik. Dan bertakwalah kepada Allah, sungguh Allah Maha Penerima tobat, Maha penyayang.” (Al-Hujurat:12)

Begitu besar perhatian Rasulullah terhadap hal ini sehingga sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Muslim beliau bersabda,
“Jauhilah kamu dari menyangka-nyangka, maka sesungguhnya menyangka-nyangka itu adalah satu perkataan dusta. Dan janganlah kamu memata-matai orang lain, mendengarkan keadaan mereka, mencari kesalahan orang lain, saling mendengki, benci-membenci, dan saling berpaling antara yang satu dengan yang lain. Tetapi jadilah kamu hamba allah yang senang persaudaraan.” (HR. Muslim)

Beliau juga bersabda,
“Tidak akan masuk surga orang yang memutuskan diri terhadap familinya (sahabatnya).” (HR. Muslim)

Sejarah telah menyaksikan begitu besar dampak yang ditimbulkan dari adanya prasangka buruk terhadap saudara, suka memata-matai, mencari kesalahan, saling membenci, dan saling berpaling dalam level makro maupun mikro umat Islam. Hal itu tidak terlepas dari upaya syetan dalam menghalangi tegaknya kalimat Allah dengan menghembuskan kebencian dan salah paham didalam hati pribadi-pribadi muslim. Yang terjadi kemudian tercerai berainya ikatan persaudaraan ummat.
Berkaca dari semua itu hendaknya setiap muslim kembali kepada apa yang telah diajarkan Allah SWT dalam surat Al-Hujurat Ayat 6 dalam menyikapi setiap informasi yang sampai kepada kita dengan cara bertabayyun. Disamping itu kita juga harus menyampaikan sebuah informasi yang kita dengar secara benar sebagaimana sabda Rasulullah,

“Semoga Allah mencerahkan wajah orang yang mendengarkan sesuatu dari kami, kemudian dia menyampaikan (kepada yang lain) sebagaimana yang dia dengar. Bisa jadi orang yang diberi kabar darinya lebih paham dari dia (yang mendengar langsung).” ( HR. At-Tirmidzi, Abu Dawud, Ibnu Majah, Ahmad dan lainya)

Semua itu agar kita tidak mendzalimi dan berbuat tidak adil kepada saudara sendiri hanya karena kebodohan dan kecerobohan kita. Dari situ pulalah kebencian dan permusuhan dapat disingkirkan sehimgga kebersamaan yang berbuah persatuan umat dalam barisan yang kokoh dapat diwujudkan, dan semerbak harum kesturi kebesaran Islam dapat segera mengalir kembali dalam helaan nafas kita. (ar)

TELEVISI SEBAGAI MEDIA DAKWAH

Oleh. Nur Ariyanto

Dalam perkembangan sejarah kaum muslimin, persinggungan antara dakwah dengan berbagai permasalahan tidak dapat dihindarkan. Hal ini sesuai dengan salah satu tujuan dakwah itu sendiri yaitu mengajak umat manusia untuk mengerjakan yang ma’ruf dan menjauhi yang munkar. Proses untuk mengajak seseorang ataupun komunitas menuju arahan perilaku yang lebih baik dan menjauhi keburukan tentu saja tidak semudah membalik telapak tangan. Semuanya harus melalui proses yang terencana dan terkonsep dengan baik. Disamping itu dibutuhkan pula media-media yang dapat membuat kegiatan dakwah menjadi lebih efektif dan efisien.
Menyadari arti penting penggunaan media tersebut, sejak jaman dahulu para da’i telah mamanfaatkannya untuk kepentingan dakwah. Untuk membuktikanya kita bisa menengok kembali dengan apa yang telah dilakukan oleh Walisongo dalam menjalankan syi’arnya. Mereka melihat bahwa budaya dapat dipakai sebagai sarana untuk mengembangkan dakwah. Oleh karena itu tidak mengherankan pada waktu itu produk budaya semisal wayang ataupun gamelan dimanfaatkan didalam dakwahnya.
Dalam masa yang lebih maju, media dakwah makin berkembang. Dakwah sudah tidak lagi dikembangkan hanya sebatas menggunakan media tradisional seperti itu saja akan tetapi sudah mulai dikembangkan melalui pemanfaatan media-media lain seperti melalui lembaga-lembaga formal maupun informal, dan juga pemanfaatan media massa cetak maupun media elektronik ataupun berbagai varian media lainya.
Dalam memanfaatkan media dan metode seorang dai tidak boleh serampangan, dan paling tidak harus memperhatikan prinsip-prinsip berikut:
1.Pengembangan metode bi al-lisan dan bi al-amal yang sesuai tantangan dan kebutuhan.
2.Mempertimbangakn metode dan media sesuai dengan tantangan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi
3.Memilih metode dan media yang relevan, baik mimbar, panggung, media cetak ataupun elektronik (radio, televisi, computer dan internet)
4.Mengembangakn media atau metode kultural atau struktural, yakni pranata sosial, seni, karya budaya, dan wisata alam.
5.Mempertimbangakn struktur sosial dalam tingkatan kadar intelektual yakni, khawas, awam dan yang menentang.
6.Memperhatikan struktur dan tingkatan masyarakat dari segi kekuasaan, geografis, demografis, sosiologis, antropologis, politis dan ekonomis.
7.Mengembangkan dan mengakomodasikan metode dan media seni budaya masyarakat setempat yang relevan, seperti wayang, drama, musik, lukisan dan sebagainya.
8.Mempertimbangakan dan mengakaji metode pendekatan spiritual antara lain melalui doa dan sholat, silaturahmi dan sebagainya.
Dengan memperhatikan prinsip-prinsip tersebut diharapkan dakwah akan berlangsung baik. Adapun salah satu media massa elektronik yang sangat efektif dan sangat berpeluang untuk dijadikan media dakwah adalah televisi.
Dakwah tidak dapat dipisahkan dari komunikasi, bahkan dakwah identik dengan proses komunikasi walaupun ada perbedaan yang mendasar. Dapat dikatakan pula bahwa proses dakwah merupakan bentuk komunikasi itu sendiri, tetapi bukan komunikasi semata. Dakwah merupakan bentuk komunikasi yang khas, adapun yang membedakan dari bentuk komunikasi yang lain adalah cara dan tujuan yang ingin dicapai. Tujuan dari komunikasi mengharapkan adanya partisipasi dari komunikan atas ide-ide atau pesan yang disampaikan sehingga dengan pesan-pessan tersebut terjadi perubahan sikap dan tingkah laku. Demikian juga dengan dakwah. Seorang da’i sebagai komunikator sangat berharap agar mad’u sebagai komunikan dapat berbuat dan bersikap sesuai isi pesan yang disampaikan. Dalam hal ini maka dakwah melalui media televisi dapat digolongkan sebagai salah satu bentuk komunikasi massa.
Mengutip pendapatnya JB. Wahyudi dalam Komunikasi Jurnalistik, Wawan Kuswandi menegaskan bahwa komunikasi massa media telivisi adalah proses komunikasi antara komunikator dengan komunikan (massa) melalui sebuah sarana, yaitu televisi. Komunikasi massa televisi bersifat periodik. Dalam komunikasi massa media tersebut, lembaga penyelenggara komunikasi bukan berupa perorangan, melainkan melibatkan banyak orang dengan organisasi yang kompleks dan pembiayaan yang besar. Dalam sisi yang lain media televisi hanya bersifat “transitory” (hanya meneruskan) maka pesan-pesan yang disampaikan melalui komunikasi massa media tersebut hanya dapat didengar dan dilihat secara sekilas. Adapun pesan-pesan di televisi bukan hanya didengar, tetapi juga dapat dilihat dalam gambar yang bergerak. Secara umum, tujuan penyampaian pesan dari media televisi adalah sebagai sarana hiburan, pendidikan, kontrol sosial, dan sebagai penghubung ataupun bahan informasi.
Daya tarik media televisi demikian besar sehingga pola-pola kehidupan manusia sebelum muncul televisi berubah sama sekali. Media televisi menjadi panutan baru (news religius) bagi kehidupan manusia. Tidak menonton televisi sama juga dengan makhluk buta yang hidup dalam tempurung.
Pada akhirnya media televisi menjadi alat atau sarana untuk menjadi alat atau sarana untuk mencapai sasaran hidup manusia. Baik untuk kepentinagn politik maupun perdagangan. Bahkan melakukan perubahan ideologi serta tatanan nilai budaya yang sudah ada sejak lama.
Tetapi walaupun demikian media televisi juga mempunyai banyak kelebihan disamping beberapa kelemahan. Keuatan media televisi adalah menguasai jarak dan ruang, karena teknologi televisi telah menggunakan elektromagnetik, kabel dan fiber yang dipancarkan (transmisi) melalui satelit. Sasaran yang dicapai untuk menjangkau massa, cukup besar. Nilai aktualitas terhadap suatu liputan atau pemberitaan sangat cepat. Daya rangsang seseorang terhadap media televisi, cukup tinggi. Hal ini disebabkan oleh kekuatan suara dan gambarnya yang bergerak (ekspresif). Salah satu hal yang paling berpengaruh dari daya tarik televisi adalah bahwa informasi atau berita-berita yang disampaikan lebih singkat, jelas, dan sistematis, sehingga pemirsa tidak perlu lagi mempelajari isi pesan dalam menangkap siaran-siaran televisi.
Ada kekuatan tentu saja ada kelemahan kekurangan televisi adalah karena bersifat transitori maka isi pesannya tidak dapat dimemori oleh pemirsa (lain halnya dengan media setak, informasi dapat disimpan dalam bentuk klipingan koran). Media televisi terikat oleh waktu tontonan, sedangkan media cetak dapat dibaca kapan saja dan di mana saja. Televisi tidak bisa melakukan kritik sosial dan pengawasan sosial secara langsung dan vulgar seperti halnya media cetak.

1.Pemanfaatan televisi sebagai media dakwah

Arti penting sebuah media (wasilah) dalam proses dakwah tidak dapat dipungkiri lagi. Permasalahanya sekarang terletak pada kemauan dan kejelian para da’i dalam melihat media mana yang paling tepat dipakai berdasarkan kemampuanya sebagai da’i maupun spesifikasi mad’u yang menjadi lahan garapannya. Dalam hal ini Moh. Ali Azis menjelaskan bahwa pada dasarnya dakwah dapat menggunakan berbagai wasilah yang dapat merangsang indra-indra manusia serta dapat menimbulkan perhatian untuk menerima dakwah. Semakin tepat dan efektif wasilah yang dipakai maka semakin efektif pula upaya pemahaman ajaran Islam pada masyarakat yang menjadi sasaran dakwah. Pemakaian media (terutama media massa) telah meningkatakan intensitas, kecepatan, dan jangkauan komunikasi yang dilakukan umat manusia teruta bila dibandingkan sebelum adanya media massa seperti pers, radio, televisi, internet dan sebagainya. Oleh karena itu sudah seyogyanya bagi para da’i memanfaatkan peluang ini dalam menyebarkan ajaran Islam diantaranya menggunakan televisi.
Sebagaimana film, media televisi juga merupakan media yang bersifat audio visual, artinya selain bisa didengar juga bisa dilihat. Oleh sebagian besar masyarakat Indonesia televisi dijadikan sebagai sarana hiburan dan sumber informasi utama. Dibeberapa daerah dinegeri ini masyarakat banyak meng habiskan waktunya untuk melihat televisi. Kalau dakwah Islam dapat memanfaatkan media ini dengan efektif, maka secara otomatis jangkauan dakwah akan lebih luas dan kesan keagamaan yang ditimbulkan akan lebih dalam.
Sesungguhnya televisi merupakan penggabungan antara radio dan film, sebab media ini, meneruskan peristiwa dalam bentuk gambar hidup dengan suara bahkan dengan warna ketika peristiwa itu berlangsung. Oleh karena itu kekurangan film mengenai aktualitasnya dapat ditutupi. Pendek kata keunikan-keunikan pada radio dan film terangkum seluruhnya dalam televisi dan sebaliknya kekutrangan-kekurangan pada radio dan film sudah tidak ditemukan dalam televisi. Namun seberapapun besar keunggulan media televisi, belum mampu merangkum beberapa keunggulan dalam media massa lainnya terutama media cetak seperti surat kabar, koran dan lain sebagainya.
Dalam menyampaikan materi dakwahnya (maddah), para da’i harus sanantiasa merujuk pada Al-Qur’an dan Hadits. Keduanya harus menjadi pegangan dalam setiap aktivitas dakwah apapun, dimanapun, kapanpun, dan menggunakan media apapun termasuk televisi. Dalam menyampaikan materi dakwahnya Al-Qur’an terlebih dulu meletakan prinsipnya bahwa manusia yang dihadapi (mad’u) adalah makhluk yang terdiri atas unsur jasmani, akal dan jiwa, sehingga ia harus dilihat dan diperlakukan dengan keseluruhan unsur-unsurnya secara serempak dan simultan. Baik dari segi materi maupun waktu penyajiannya.
Sebagaimana dikutip oleh Asep Muhyidin, Quraish Shihab mengungkapkan bahwa materi dakwah yang disajikan oleh Al-Qur’an dibuktikan kebenarannya dengan argumentasi yang dipaparkan atau dapat dibuktikan manusia melalui penalaran akalnya, kenyataan ini dapat ditemui pada hampir setiap permisalan yang disajikan oleh Al-Qur’an. Ada kalanya Al-Qur’an menuntun manusia dengan redaksi yang sangat jelas dan dengan tahapan pemikiran yang sistematis sehingga manusia menemukan sendiri kebenarannya. Sedangkan untuk menunjang tercapainya target yang di inginkan dalam penyajian materi-materinya, Al-Qur’an menempuh metode-metode sebagai berikut;
1.Mengemukakan kisah-kisah yang bertalian dengan salah satu tujuan materi.
2.Nasihat dan panutan.
Dalam hal ini Al-Qur’an menggunakan kalimat-kalimat yang menyentuh hati untuk mengarahkan manusia pad ide-ide yang dikehendakinya.
3.Pembiasaan.
Pembiasaan mempunyai peranan yang sangat besar dalam kehidupan manusia. Dengan kebiasaan seseorang mampu melakukan hal-hal penting dan berguna tanpa memerlukan energi dan waktu yang banyak.
Mencermati uraian diatas hendaknya materi dakwah dalam televisi hendaknya tetap mengacu pada kedua sumber pokok ajaran Islam tersebut. Adapun metode penyampaian pesannya bisa dengan cara mengemukakan kisah-kisah yang berkaitan dengan tujuan materi. Hal ini bisa dilakukan dengan format:
1.Ceramah
2.Dialog interaktif
3.Sinetron
4.Musik Islami
5.Talk show
6.Film dokumenter
7.Film layar kaca,
8.Drama.
Disamping beberapa format acara diatas bisa juga dikembangkan varian acara yang lain yang dapat menunjang dakwah.

2.Kelebihan televisi sebagai media dakwah

Kelebihan televisi sebagai media dakwah jika dibandingkan dengan media yang lainya adalah;
1.Media televisi memiliki jangkauan yang sangat luas sehingga ekspansi dakwah dapat menjangkau tempat yang lebih jauh. Bahkan pesan-pesan dakwah bisa disampaikan pada mad’u yang berada di tempat-tempat yang tidak sulit dijangkau.
2.Media televisi mampu menyentuh mad’u yang heterogen dan dalam jumlah yang besar. Hal ini sesuai dengan salah satu kharakter komunikasi massa yaitu komunikan yang heterogen dan tersebar. Kelebihan ini jika dimanfaatkan dengan baik tentu akan berpengaruh positif dalam aktifitas dakwah. Seorang da’i yang bekerja dalam ruang yang sempit dan terbatas bisa menjangkau mad’u yang jumlahnya bisa jadi puluhan juta dalam satu sesi acara.
3.Media televisi mampu menampung berbagai varian metode dakwah sehingga membuka peluang bagi para da’i memacu kreatifitas dalam mengembangkan metode dakwah yang paling efektif.
4.Media televisi bersifat audio visual. Hal ini memungkinkan dakwah dilakukan dengan menampilkan pembicaraan sekaligus visualisai berupa gambar.

3.Kelemahan televisi sebagai media dakwah

Selain memiliki beberapa kelebihan sebagaimana disebutkan diatas, dakwah menggunakan media televisi juga mempunyai berbagai kelemahan. Dalam kasus Indonesia hal ini tidak bisa dilepaskan dari kondisi pertelevisian yang ada. Dalam bidang sinetron misalnya, Srikit Syah mengungkapkan bahwa sinetron Indonesia berkembang dari segi jumlah, namun kualitasnya memprihatinkan. Ceritanya menjual mimpi, jauh dari kenyataan. Sinetron yang mendominasi jam tayang utama tak jauh beda dari sinetron Amerika Latin, Thailand dan Philipina. Hal ini berbeda dengan India yang mempunyai ciri khas budaya yang kuat dan konsisten. Sedangkan Indonesia seringkali mencontoh kostum Beverly Hills, Plot Konflik, Melrose Place, dan melodrama Maria Marcedes dalam suguhanya . Demikian pula “sinetron Islami” yang sering kita lihat selama ini sebagian besar belum mencerminkan ajaran Islam yang sesungguhnya. Bahkan terkadang ada suguhan adegan-adegan yang tidak layak ditampilkan dan menyalahi norma ke-Islaman. Disamping itu masih ada beberapa kondisi memprihatinkan lainya dari pertelevisian Indonesia.
Secara umum kelemahan-kelemahan itu antara lain;
1.Cost yang terlalu tinggi untuk membuat sebuah acara Islami di televisi
2.Terkadang tejadi percampuran antara yang haq dan yang bathil dalam acara-acara televisi
3.Dunia pertelevisian yang cenderung kapitalistik dan profit oriented
4.Adanya tuduhan menjual ayat-ayat Qur’an ketika berdakwah di televisi
5.Keikhlasan seorang da’i yang terkadang masih diragukan
6.Terjadinya mad’u yang mengambang
7.Kurangnya keteladanan yang di perankan oleh para artis karena perbedaan kharakter ketika berada didalam dan di luar panggung.
Keberadaan media dakwah sebagai sarana penunjang keberhasilan dakwah menjadi sebuah keharusan. Oleh karena itu sudah selayaknya bagi para da’i untuk membekali diri dengan berbagai kemampuan guna pemanfaatan media yang ada sehingga dakwah dapat dijalankan secara lebih efektif dan efisien. Salah satu media dakwah yang cukup efektif dan harus betul-betul dimanfaatkan dengan baik saat ini adalah televisi.
Terlepas dari beberapa kekurangan yang ada di dalamnya televisi memiliki potensi yang luar biasa dalam dakwah terutama dari faktor jangkauan transmisinya yang begitu luas, mad’u yang heterogen serta kekuatannya untuk menampung berbagai varian metode dakwah.

Demikian makalah ini kami buat. Kami menyadari begitu banyak kekurangan didalamnya, untuk itu kritik dan saran yang konstruktif sangat kami harapkan demi perbaikan kedepan.




DAFTAR PUSTAKA

Anas, Ahmad, Paradigma Dakwah Kontemporer, Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2006.

Azis, Moh. Ali, Ilmu Dakwah, Jakarta: Kencana, 2004.

Kuswandi, Wawan, Komunikasi Massa (Sebuah Analisis Media televisi), Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1996.

Muhyidin, Asep dan Safei Agus Ahmad, Metode Pengembangan Dakwah, Bandung: Pustaka Setia, 2002.

Syah, Srikit, Media Massa Dibawah Kapitalisme, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999.

MEMAHAMI FAKTOR-FAKTOR SOSIOLOGIS DAN PSIKOLOGIS UNTUK MENUNJANG KEBERHASILAN DAKWAH

Oleh. Nur Ariyanto

Realitas dakwah mensyaratkan adanya sebuah interaksi antara da’i dan mad’u. Sebagai seorang komunikator da’i dituntut untuk berkomunikasi dengan mad’u untuk dapat menyampikan pesan-pesan dakwahnya. Dari proses inilah nilai-nilai ajaran Islam yang bersifat sakral ditransformasikan ke dalam masyarakat sehingga Islam bisa betul- betul menjadi agama rahmatan lil’alamin. Akan tetapi semua itu bukanlah sesuatu yang mudah, da’i sebagai komumikator yang membawa pesan dakwah berupa ajaran Islam sering kali mengalami kesulitan dalam menjalankan tugasnya. Ajaran Islam yang bersifat given dari Allah SWT seringkali sulit diterima oleh masyarakat dengan berbagai sebab.
Masyarakat sebagai entitas sosial yang terdiri dari ragam latar belakang sosial dan budaya yang kompleks terkadang sulit untuk menerima pesan-pesan dakwah. Hal tesebut terkadang disebabkan oleh kondisi sosiologis dan psikhologis yang inhern dalam masyarakat tetapi terkadang tidak diperhatikan dengan baik oleh para da’i. Dakwah yang mereka lakukan terkadang dapat diibaratkan sebagai ”melempar batu ditengah kegelapan malam”, sehingga target dakwah itu sendiri belum dapat tercapai secara efektif dan efisien.
Sudah selayaknya para da’i mengenali terlebih dahulu kondisi mad’unya sebelum menyampaikan pesan dakwah dan menentukan metodenya. Contohnya saja ketika dia ingin melakukan ekspansi dakwah ke suatu daerah tertentu, dia harus mengetahui kondisi sosial disana, dia juga harus mampu menghayati dan memahami kondisi psikhologis masyarakat setempat. Mencermati semua itu diharapkan bagi para aktivis dakwah dapat membekali diri dengan berbagai macam ilmu yang memadai agar dapat menunaikan dakwahnya dengan baik. Aktivis dakwah dalam skala personal maupun lembaga dakwah selayaknya mampu mengenali situasi dan kondisi mad’u dengan detail sehingga dakwah bisa betul betul menjadi obat dalam masyarakat. Oleh karena itu pengetahuan tentang sosiologis dan psikologis masyarakat sangat diperlukan untuk mendukung keberhasilan dakwah.
Dakwah sebenarnya identik dengan proses komunikasi, bahkan dapat dikatakan kalau dakwah komunikasi itu sendiri. Tapi ’bukan sembarang komunikasi’. Oleh karena itu mengutip pendapat Hanafi Anshori, Ahmad Anas mengatakan bahwa: ”Dakwah ditnjau dari proses komunikasi merupakan suatu proses penyampaian pesan-pesan berupa ajaran Islam yang disampaikan secara persuasif dengan harapan agar komunikasi tersebut dapat berbuah amal sholeh sesuai dengan ajaran Islam yang didakwahkan”. Keberhasilan dalam komunikasi sendiri sangat ditentukan oleh dua hal yaitu kesamaan frame of reference dan field of experience, yaitu situasi total yang mempengaruhi dari pihak komunikan. Disinilah arti penting pemahaman kondisi sosiologis maupun psikologis mad’u dalam proses dakwah.

Arti penting memahami faktor sosiologis dalam dakwah.

Kita tidak sedang bicara tentang ilmu sosial terutama sosiologi, tapi disini perlu disinggung sedikit tentang ilmu ini. Sebagai sebuah cabang ilmu sosial, Sosiologi diperkenalkan oleh Auguste Comte (1798-1857) pada sekitar abad ke-19. Dia berusaha menunjukan sosiologi sebagai ilmu masyarakat yang memiliki disiplin sendiri, yaitu rencana pelajaran dan penyelidikan serta lapanganya sendiri. Sosiologi (Latin: Socius = teman, kawan. Social: berteman, bersama, berserikat) bermaksud untuk mengerti kejadian-kejadian dalam msyarakat, yaitu persekutuan manusia dan selanjutnya dengan pengertian itu dapat berusaha mendatangkan kebaikan dalam kehidupan bersama..
Secara terminonologis ada beberapa ahli yang mencoba untuk mendefinisikan arti Sosiologi itu sendiri, diantaranya adalah Pitrim Sorikin. Dia mengatakan bahwa sosiologi adalah ilmu yang mempelajari:
a.Hubungan dan pengaruh timbal balik antara aneka macam gejala sosial (misalnya antara gejala ekonomi dengan agama, keluarga dengan moral, hukum dengan ekonomi, gerak masyarakat dengan politik dan lain sebagainya.
b.Hubungan dan pengaruh timbal balik antara gejala-gejala sosial dengan gejala-gejala non sosial (misalnya gejala geografis, biologis dan lain sebagainya).
c.Ciri-ciri umum dari gejala sosial.

Selain Pitrim Sorikin ada beberapa ahli yang memberi definisi berbeda tentang sosiologi, diantaranya adalah Roucek dan Warren, William F Ogburn dan Mayer F Nimkot, J.A.A. Van Doorn dan C.J. Lammers, Selo Soemarjan dan Soelaeman Soemardi, juga Hasan Shadily. Hassan Shadily mendefinisikan sosiologi sebagai ilmu kemasyarakatan yang mempelajari manusia sebagai anggota golongan atau masyarakat (bukan sebagai individu yang terlepas dari golongan atau masyarakatnya), dengan ikatan adat, kebiasaan kepercayaan atau agamanya, tingkah laku serta kesenianya atau yang disebut kebudayaan yang meliputi segala segi kehidupan”.
Bedasarkan uraian diatas para da’i hendakanya mengetahui faktor-faktor yang melahirkan kebudayaan dalam masyarakat terkait dengan perilaku kelompok, strata sosial, struktur masyarakat, pola interaksi dan lain sebagainya. Akan tapi pengetahuan mereka tidak perlu sampai rigid sebagaimana para sosiolog.
Pada dasarnya manusia sebagai elemen masyarakat menciptakan budaya atau lingkungan sosial mereka sebagai adaptasi terhadap lingkungan fisik maupun biologis. Kebiasaan-kebiasaan, praktik-praktik, dan tradisi-tradisi untuk terus hidup dan berkembang diwariskan oleh suatu generasi ke generasi lainya dalam suatu masyarakat tertentu. Pada giliranya kelompok atau ras tertentu tidak menyadari darimana asal warisan kebijaksanaan tersebut. Generasi-generasi berikutnya terkondisikan untuk menerima ”kebenaran-kebenaran” tersebut tentang kehidupan disekitar mereka, pantangan-pantangan dan nilai-nilai tertentu ditetapkan. Melalui banyak cara orang-orang menerima penjelasan tentang perilaku-perilaku yang dapat diterima untuk hidup dalam masyarakat tersebut. Budaya mempengaruhi dan di pengaruhi oleh aktivitas manusia. Senada dengan itu Soerjono Soekanto mengatakan bahwa kebudayaan itu dipelajari dan kebudayaan itu membuat orang mampu untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan alam dan lingkungan sosialnya.
Dalam konteks dakwah lintas budaya seorang da’i memposisikan diri sebagai seorang pengamat yang berada diluar komumunitas dalam menganalisis kondisi mad’unya. Hasil pengamatan dan pengetahuan akan hal-hal yang bersifat sosiologis seperti bagaimana kelompok-kelompok sosial, lembaga sosial maupun stratifikasi sosial terbentuk akan sangat membantu untuk mengembangkan dakwah secara lebih inklusif. Karena bagaimanapun juga sikap yang arif dan bijaksana dalam menghadapi masyarakat dengan latar belakang sosial sosial yang berbeda perlu diambil dalam penyampaian pesan-pesan dakwah. Dengan demikian dakwah dapat diterima oleh masyarakat. Biarpun demikian para da’i tidak boleh bersikap terlalu lunak dan toleran terhadap hal-hal yang sudah menyimpang dari ajaran Islam.

Arti penting memahami faktor psikologis dalam Dakwah.

Secara etimologi pshycology berasal dari bahasa yunani, kata psyche berarti jiwa dan kata logos berarti ilmu. Sedangkan dalam konteks keilmuan, psychology adalah ilmu yang meliputi segala pemikiran, pengetahuan, tanggapan, tetapi juga segala khayalan dan spekulasi mengenai jiwa. Psycology meliputi ilmu pengetahuan mengenai jiwa yang diperoleh secara sistematis, dengan metode-metode ilmiah yang memenuhi syarat-syaratnya seperti yang dimufakati sarjana-sarajana psychology pada zaman sekarang ini.
Dalam perkembanganya kebudayaan tidak dapat dipisahkan dari faktor psikologis pelaku kebudayaan itu sendiri. Masalah psikologis dari kebudayaan terletak pada ketidakinginan untuk membedakan pengalaman-pengalaman manusia sehingga manusia sebagai organisme dibedakan atau dipisahkan dari aspek-aspek perilaku. Kebudayaan memberi arah dan isi pada kehidupan manusia, akan tetapi kebudayaan tidak mungkin ada tanpa manusia. Oleh karena itu kebudayaan juga dapat dianggap sebagai realita psikologis yang merupakan konstruksi-konstruksi dalam pikiran manusia. Sedangkan perumusan kebudayaan dari sudut pandang psikologis mengatakan bahwa kebudayaaan merupakan bagian dari perilaku manusia yang dipelajari.
Sebagai contoh adalah ketika berdakwah dalam sebuah kelompok masyarakat, pengetahuan tentang tingkah laku ini sangatlah penting. Ada dua teori yang menerangkan tingkah laku kelompok. Teori pertama adalah yang dikemukakan oleh tokoh-tokoh psikhologi aliran klasik, yang berpendapat bahwa unit yang terkecil yang dipelajari dalam psikhologi adalah individu. Karena itu kelompok tidak lain adalah kumpulan individu dan tingkah laku kelompok adalah gabungan tingkahlaku-tingkahlaku individu individu secara bersama. Hal itu dapat digunakan untuk menganalisis perilaku kekerasan oleh kelompok masyarakat yang terjadi akhir-akhir ini. Bisa jadi itu merupakan cerminan perilaku individu-individu dalam kelompok tersebut.
Teori kedua adalah teori yang bertolak belakang dengan teori pertama yang diajukan oleh seorang sarjana psikhologi Perancis yang bernama Gustave Le Bone. Le Bone mengatakan bila dua orang lebih berkumpul disuatu tempat tertentu, mereka akan menampilkan ciri tingkahlaku yang sama sekali berbeda daripada ciri-ciri tingkah laku individu-individu itu masing. Perbedaan ini disebabkan oleh adanya jiwa bersama yng tidak tunduk kepada sifat masing-masing, tetapi diatur oleh hukum kesatuan mental kelompok itu. Prinsip Le Bon ini dapat dipersamakan dengan proses kimia, yaitu bahwa molekul mempunyai sifat yng sangat berbeda dari sifat atom atom yang membentuk molekul itu. Jadi air misalnya, sama sekali tidak mempunyai sifat hidrogen atau oxigen. Demikian juga kelompok orang tidak mempunyai sifat-sifat yng ada pada anggota kelompok itu. Oleh karena itu menurut teori jiwa bersama ini, suatu kelompok merasa, berfikir, dan bertindak berbeda dari masing-masing individu.
Untuk mengetahui faktor-faktor psikologis dalam masyarakat seorang da’i mau tidak mau harus menjadi bagian dari masyarakat, sehingga dia merasakan apa yang dirasakan masyarakat itu sendiri. Memperhatikan faktor psikologis menjadi sangat penting karena terkadang para da’i terkadang harus berhadapan dengan mad’u yang memiliki kondisi kejiwaan yang berbeda yang memerlukan penanganan berbeda pula. Menyampaikan pesan dakwah pada mad’u dalam kondisi yang marah tentu harus berbeda dengan mad’u yang sedang gembira, demikian pula sebaliknya.
Mencermati kondisi diatas paling tidak para da’i harus mengembangkan sikap ’empati’ terhadap mad’unya sebagai pendekatan ketika berkomunikasi. Sikap empati merupakan sikap yang perlu dibangun melalui peletakan diri kita kedalam hati orang lain. Bersikap empati berarti kita memasuki ruang dan relung pikiran, perkataan dan perasaan orang lain. Ibarat kita memkai sepatu mereka dan menikmati sepatu itu sebagaimana ia memakainya. Semua itu menuntut kita untuk memahami segala sesuatu dari mereka. Pandangan dan pendapat mereka yang kritis, inovasi, yang mereka anjurkan, perasaan suka dan duka yang mereka rasakan.

Kalam akhir

Dakwah merupakan sebuah proses transformasi nilai-nilai ajaran Islam kedalam masyarakat, oleh karena itu dakwah tidak akan pernah berhenti untuk berinteraksi dengan budaya dari masyarakat itu sendiri. Dalam interaksi tersebut tidak jarang terjadi konflik yang merugikan dakwah yang di akibatkan kurang dimengertinya aspek-aspek sosiologis dan psikologis dalam masyarakat oleh para da’i. Alih-alih dakwah diterima sebagai sebuah tawaran solusi terhadap permasalahan kehidupan, justru dakwah sering dianggap sebagai problem oleh masyarakat. Oleh karena itu memahami urgensi pengenalan faktor-faktor sosiologis dan psikologis dalam masyarakat sangat diperlukan oleh para aktivis dakwah.
Mengetahui faktor sosiologis dilakukan dengan menempatkan diri sebagai pengamat yang berada diluar komunitas. Dari pengamatan itu diharapkan akan didapat gambaran ’bagaimana’ sebuah fenomena budaya dan perilaku dalam masyarakat terjadi, sehingga akan memudahkan untuk menentukan pendekatan yang akan dipakai dalam menyelesaikan problematika dakwah. Adapun mengetahui faktor-faktor psikologis masyarakat dilakukan dengan menjadi bagian dari masyarakat itu sendiri dan mencoba merasakan apa yang dirasakan oleh masyarakat. Pemahaman tentang faktor-faktor ’mengapa’ sebuah budaya dalam masyarakat terjadi akan mampu menumbuhkan empati dalam berdakwah.




Rujukan:

Anas, Ahmad, Paradigma Dakwah Kontemporer, Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2006.

Gerungan, W.A, Psychologi Sosial, Jakarta: PT. Cresco, 1983.

Liliweri, Alo, Makna Budaya Dalam Komunikasi Antar Budaya, Yogyakarta: LKIS, 2003.

Rahmad, Jallaludin dan Dedi Mulyana, Komunikasi Antar Budaya (Pedoman Berkomunikasi Dengan Orang-Orang Berbeda Budaya), Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 2000.

Sadily, Hassan, Sosiologi Untuk Masyarakat Indonesia, Jakarta: Bina Aksara, 1989

Sarwono, Sarlito Wirawan, Pengantar Umum Psikologi, Jakarta: Bulan Bintang, 1982.

Soekanto, Soeyono, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: Rajawali Press, 1987.

Soekanto, Soeyono, Beberapa Teori Sosiologi Tentang Stuktur Masyarakat, Jakarta: CV. Rajawali, 1984.

Selasa, 09 Maret 2010

CITRA ISLAM DALAM BINGKAI TERORISME

Oleh. Nur Ariyanto

Wacana terorisme agaknya menjadi isu kontemporer yang paling hangat dan banyak dibicarakan dalam dekade ini. Isu penting yang membuka mata dunia untuk lebih waspada terhadap ancaman kekerasan global ini tidak terlepas dari peristiwa yang menimpa Amerika Serikat pada 11 september 2001 silam, walaupun sebenarnya terorisme sudah melekat dalam sepanjang sejarah manusia.
Kehadiran media massa dalam peristiwa itu telah mentranformasikan sebuah kejadian lokal yang terjadi di Manhattan menjadi peristiwa global dan disaksikan seluruh dunia. Dari layar kaca kita dapat melihat bagaimana sebuah pesawa menabrak gedung WTC yang begitu megah sehingga menimbulkan ledakan dahsyat dan membuat simbol kedigdayaan ekonomi Amerika itu runtuh perlahan-lahan runtuh menjadi puing
Terlepas dari siapapun pelaku aksi keji itu, tampaknya Amerika Serikat melihat ini sebagai momen emas dan secara sistematis memanfaatkanmya untuk membangun ’opini publik dunia’ tentang ancaman terorisme, terutama yang berasal dari kelompok Islam militan. Amerika Serikat memang negara yang cerdik bermain media dan piawai dalam mendramatisir informasi. Sekecil apapun peristiwa yang berbau teror, apalagi mengatasnamakan atau membawa simbol Islam —terlepas peristiwa tersebut hasil rekayasa atau tidak— akan di ekspos media secara dramatis untuk kepentingannya. Tidak mengherankan pula beberapa hari setelah peristiwa itu organisasi Al-Qaeda pimpinan Ossama Bin Laden diumumkan sebagai pelaku.
Untuk lebih memuluskan langkahnya Amerika memanfaatkan berbagai media massa internasional. Amerika Serikat juga mengajak seluruh negara agar bekerjasama secara aktif dalam perang tanpa batas waktu dan teritorial. Hal ini menjadi absurd, karena dalam pandangan Amerika Serikat terorisme identik dengan ’fundamentalisme’ Islam. Maka jika kampanye mereka adalah war against terorism, bisa di pahami kalau itu adalah war against Islam.
Pernyataan perang Amerika melawan terorisme global, terutama Islam fundamentalis totalitarian itu menggambarkan upaya Barat untuk menguasai politik dunia dengan kondisi perang yang berkelanjutan. Perang melawan terorisme global telah menjadi semacam perang dunia karena melibatkan banyak negara dalam bentuk kerjasama militer dan intelejen dibawah komando Amerika Serikat. Politik dunia dalam situasi perang besar tanpa skenario perdamaian ini telah menjepit posisi gerakan Islam fundamentalis yang anti Barat (Turmudi, 2005:17).
Pembentukan opini publik menjadi sangat penting bagi Amerika Serikat. Meskipun laksana hantu, peranan opini publik terhadap proses dinamika sosial sangatlah penting. Opini publik dapat bertahan puluhan tahun dan jika belum ada ”koreksi” yang kuat terhadap opini yang sebelumnya, opini itu akan mengendap menjadi nilai-nilai sosial yang membentuk persepsi atau stereotipe masyarakat terhadap suatu masalah. Opini publik yang digulirkan oleh aktor-aktor komunikator yang ulung dan dilakukan dengan proses rekayasa penggalangan opini yang serius dapat memberi dampak yang besar terhadap afektif, kognitif dan perilaku masyarakat (Husaini, 2002: XL). Opini publik yang telah terbentuk terkait ancaman fundamentalisme Islam akan membuahkan keberpihakan kepada mereka (Amerika Serikat serikat dan sekutunya).
Sesungguhnya dibalik kampanye war on terrorism yang dilancarkan Amerika Serikat tengah terjadi perang wacana dengan dua target yaitu; 'monsterisasi' terorisme dan 'pembusukan' terhadap Islam dan umat Islam.
Negara-negara Barat memiliki kepentingan dengan dua target diatas. Monsterisasi terorisme sering dijadikan Barat terutama AS sebagai alat legitimasi untuk melakukan intervensi ke negara lain, seperti yang dilakukan terhadap Afghanistan dan Irak, juga Indonesia. Sementara pembusukan Islam dilakukan untuk memilah umat Islam menjadi dua kelompok. Kelompok yang setuju kepada AS akan dirangkul dan disebut moderat, sementara kelompok yang menentang 'penjajahan' AS akan disebut teroris, fundamentalis radikal, dan anti Barat.
Stigmatisasi negatif terhadap Islam tersebut akan menjadikan umat Islam takut untuk menampakkan keIslamannya, mendorong kaum Muslim bermental hipokrit, dan membuat umat Islam sekular dengan Islam mencampakkan Islam dari kehidupan mereka. Akhirnya Islam akan lenyap dari kehidupan karena hanya sedikit orang yang mau mengembannya.
Perang Melawan Terorisme” bukan merupakan jargon baru yang didengungkan Amerika Serikat dan sekutunya. Kampanye ini juga bukanlah sebuah proyek yang bebas nilai atau steril dari kepentingan. Sebaliknya, terorisme telah menjadi sebuah isu yang didesain sedemikian rupa dan dimanfaatkan AS untuk lebih mencengkeramkan hegemoninya di seluruh dunia.
Opini publik dunia terutama yang terbentuk atas propaganda Amerika dan sekutunya itu sangat merugikan umat Islam terutama hubungannya dengan dunia Barat. Stigmatisasi terorisme terhadap Islam semakin menyulut kebencian yang mendalam dalam dunia Barat yang notabene telah mengalami trauma sejarah yang pahit dengan umat Islam akibat peristiwa perang salib (1096-1270 M). Maka sangat wajar kalau Bush sempat mengatakan bahwa usaha mereka melawan terorisme itu sebagai ’perang salib’, sebelum akhirnya mendapat kritikan pedas dari berbagia pihak yang memaksa dia meminta maaf atas ucapannya itu.
John L Esposito mengugkapkan bahwa citra umum yang berkembang di Barat saat ini bahwa Islam adalah agama pedang. Dunia Barat juga beranggapan bahwa kaum muslimin diperintahkan untuk menggunakan segala macam cara, termasuk paksaan dan peperangan, untuk menyebarkan dan menerapkan agama mereka. Isu seperti ini dan berbagai isu lainnya menjadi spektrum opini (Esposito, 2003:81). Film ’fitna’ yang pernah dibuat oleh Geert Wilders seorang anggota parlemen Belanda telah menjadi salah satu contoh gambaran konkrit apa yang ada dibenak mereka mengenai Islam.
Dalam film dokumenter yang berdurasi 14 menit itu Wilders menuduh dan memojokkan Islam dengan mengatakan bahwa al-qur’an merupakan kitab yang mengajarkan kekerasan dan pembunuhan serta membenarkan terorisme. Untuk menguatkan pendapatnya antara lain dia mengutip surat Al-Anfal ayat: 60.
Usaha Amerika Serikat dalam membentuk opini dan mempengaruhi dunia untuk melibatkan diri dalam perang melawan terorisme global tampaknya cukup membuahkan hasil, mereka memperoleh banyak dukungan terutama dari pemerintah berbagai negara yang sering menjadi sasaran terorisme termasuk Indonesia.
Sejak tahun 2000 di Indonesia tealah terjadi belasan aksi peledakan bom, dan yang terbesar dan banyak menyita dunia adalah Bom Bali I yang terjadi pada bulan oktober 2002. Peristiwa itu sendiri sedikitnya memakan sekitar 200 korban jiwa yang kebanyakan warga Australia. Peristiwa itu sendiri diduga kuat dilakukan oleh Jamaah Islamiyah yang memiliki kaitan erat dengan jaringan terorisme internasional Al-Qaeda
Sebagai negara dengan komunitas muslim terbesar didunia Indonesia berpotensi menjadi lahan subur berkembangnya ’fundamentalisme Islam’ yang berpotensi melahirkan-dalam kacamata miring Barat-terorisme.

Fundamentalisme Islam vs Barat.

Istilah fundamentalisme, secara etimologi berarti dasar. Sedangkan secara terminologi, fundamentalisme adalah aliran pemikiran keagamaan yang cenderung menafsirkan teks-teks keagamaan secara rigid (kaku) dan literalis (tekstual). Menurut Espossito Istilah ”fundamentalisme” Islam biasanya dipakai-baik oleh kalangan akademis maupun media massa untuk- untuk merujuk pada gerakan-gerakan Islam politik yang berkonotasi negatif seperti ”radikal, ekstrem , dan militan”serta”anti-Barat/Amerika”. Namun tidak jarang pula julukan fundamentalisme di berikan kepada semua orang Islam yang menerima al-Qur’an dan hadits sebagai jalan hidup mereka. (Turmudi ed, 2005:54)
Sementara itu menurut Jurgen Habermas Predikat fundamentalisme dipakai untuk mencirikan suatu mentalitas yang khas, suatu sikap yang kepala batu yang menekankan didesakkannya secara politis keyakinan serta alasan alasan mereka sendiri, bahkan jika itu jauh dari berterima secara rasional. Ini terutama berlaku bagi kepercayaan-kepercayaan keagamaan
Lebih lanjut Habermas menjelaskan sifat-sifat mentalitas yang beku dari kaum fundamentalis dapat membangkitkan disonansi-disoansi kognitif yang mencolok. Regresi ini terjadi ketika sebuah perspektif dunia yang mencakup segalanya kehilangan kemurnian situasi-situasi epistemologisnya, dan ketika dibawah kondisi-kondisi pengetahuan ilmiah dan pluralisme keagamaan, gerakan kembali kepada eklusivitas sikap-sikap kepercayaan yang para-modern di sebarluaskan. Sikap-sikap ini membangkitkan disonansi-disonansi kognitif yang mencolok karena keadaan lingkungan yang kompleks didalam masyarakat-masyarakat yang normal-hanya cocok dengan pengertian universalisme yang sempit. . (Borradori, 2005:47)
Ketika rezim kontemporer seperti Iran menolak pemisahan antara negara dan agama, atau ketika gerakan-gerakan yang diilhami agama berjuang kembali untuk membangun kembali teokrasi maka itu disebut sebagai fundamentalisme.
Namun John L. Esposito, sebagaimana dikutip oleh M. Imdadun Rahmat dalam bukunya yang berjudul ”Arus Baru Islam Radikal, Transmisi Revivalisme Islam Timur Tengah Ke Indonesia”, menyatakan kalau dia tidak sepakat ketika gerakan Islam ini dilkatkan sebagaimana pada kasus kristen yang dituduh sebagai kelompok literalis, statis dan ekstrem, karena pada gilirannya fundamentalisme dimaknai gerakan atau kelompok yang mengacu pada literalisme dan berharap kembali pada kehidupan masa lalu. Bahkan lebih jauh lagi, Esposito mengkritik mereka yang mengartikan fundamentalisme secara sembrono dengan menyamakannya dengan ekstremisme, fanatisme, aktivisme politik, terorisme dan anti-Amerika (Rahmat, 2005:xxvii)
Sepanjang sejarah dunia, tidak ada agama dan umatnya terbebas dari gerakan fundamentalis yang bercorak radikal dalam termasuk Islam. Munculnya gerakan keagamaan yang bersifat radikal merupakan fenomena penting yang turut mewarnai citra Islam kontemporer. Masyarakat dunia belum bisa melupakan peristiwa revolusi Iran pada 1979 yang berhasil menampilkan kalangan mullah ke atas paggung kekuasaan. Itulah peristiwa yang dianggap sebagai titik tolak kebangkitan Islam kontemporer yang menimbulkan ’kengerian’ bagi dunia Barat.
Maraknya gerakan fundamentalisme dalam masyarakat Muslim secara langsung makin memperteguh citra lama Islam bahwa pada dasarnya agama ini bersifat radikal dan intoleran. Kesan ini sulit terbantahkan, karena gelombang fundamentalisme Islam telah menjadi bagian penting dari rentetan kekisruhan politik sejak pertengahan abad ini.
Kemunculan gerakan fundamentalisme Islam yang sering di identikkan dengan Islam radikal sedikit banyak di dorong kondisi umat Islam yang masih tertinggal dari umat lain terutama dalam pendidikan dan ekonomi. Kedua faktor utama ini menyebabkan kaum muslimin merasa dunia Barat khususnya para penguasanya, tidak adil dalam politik terhadap umat Islam. Hegemoni Barat bukan hanya menonjol dalam bidang politik, ekonomi, dan sosial, tetapi juga dalam pemahaman keagamaan dan kultural. Dalam hal ini negara-negara Islam tengah mengalami proses liberalisasi dan westernisasi yang mengancam identitas kultural mereka yang banyak diinspirasikan oleh ajaran Islam. Dengan demikian, raison d'etre untuk menegakkan Islam tampaknya tidak sebatas dmotivasi oleh imperatif teologis, tetapi juga didorong oleh perjuangan mendapatkan kembali identitas kultural serta historis.
Sedangkan ditinjau dari proses kelahirannya fundamentalisme Islam merupakan reaksi terhadap krisis berganti-ganti dari berbagai ideologi dan merupakan gerakan yang mencoba menawarkan Islam sebagai sebuah ideologi alternatif. Secara ideal kelompok fundamentalis Islam mereka memang berusaha untuk menerapkan ajaran-ajaran agama secara menyeluruh termasuk dalam kehidupan bernegara, tetapi metode dan pemahaman atas teks suci serta imperatif-imperatif yang dikandungnya saling berbeda.
Menurut Prof. Dr. Bassam Tibi, seorang guru besar hubungan internasional Gottingen University Jerman, sekurang-kurangnya ada dua hal yang melandasi lahirnya fundamentalisme Islam. Pertama, munculnya negara-negara bangsa di Eropa yang berawal sejak meletusnya revolusi perancis hingga kemerdekaan bangsa-bangsa yang dijajah oleh bangsa eropa. Sebelumnya, ide negara bangsa itu belum ada. Namun ketika muncul negara bangsa maka itu mendorong lahirnya fundamentalisme Islam yang ingin menjadikan Islam sebagai ideologi alternatif bagi berdirinya sebuah pemerintahan nasional.
Kedua, terkait erat dengan yang pertama, lahirnya fundamentalisme Islam didorong oleh gagalnya penerapan ideologi Barat untuk diterapkan dalam negara-negara muslim yang baru merdeka tersebut (Tasfirul Afkar, 2002: 118).
Hal itulah yang mendorong berdirinya beberapa kelompok fundamentalis Islam di timur tengah, salah satunya Ikhwanul Muslimin di Mesir. Organisasi yang didirikan Hasan Al-Banna pada tahuhun 1928 ini banyak menginspirasi gerakan fundamentalisme Islam diberbagai belahan dunia. Berbagai konflik di Timur Tengah yang tak kunjung usai juga menjadi tempat asal penyusupan pikiran radikal bagi umat Islam, hal itu di picu ulah elit politik yang menunjukkan prilaku yang kurang Islami.
Pasca berakhirnya perang dingin dan runtuhnya Uni Soviet, fundamentalisme Islam secara langsung dianggap mengancam eksistensi peradaban Barat. Beberapa pembuat keputusan di Barat melihat kebangkitan Islam sebagai anti peradaban Barat karena didalamnya mengandung identitas politik Islam. Sebagian besar orang Barat yang mempercyai paradigma realisme politik berpendapat bahwa Islam fundamentalis lebih mencerminkan sebagai suatu penolakan terhadap universalisme Barat daripada kesalihan pemeluk Islam. Realisme politik hanya mengenal kekuatan dan kepentingan di bawah peradaban ”universal”, tidak mengenal politik Islam. (Turmudi ed, 2005: 26).
Barat melihat fundamentalisme Islam merupakan ancaman dalam proses demokratisasi dan liberalisasi dunia Islam. Sedangkan liberalisasi dunia Islam sendiri bermakna menegakkan peradaban Barat yang menekankan tumbuhnya kebudayaan modernitas dan menjunjung tinggi nilai-nilai universal. Untuk itulah kekuatan hegemoni Barat sengaja membentuk opini publik dunia bahwa Islam fundamentalis cenderung menggunakan teror atau kekerasan dalam memperjuangkan tujuannya.
Teori realisme politik menempatkan pembentukan pendapat publik pada posisi penting dalam pengokohan hegemoni kekuasaan dan hegemoni pemaknaan kepentingan nasioal. Pendapat publik dunia nantinya diharapkan akan mengkristal dan membuahkan dukungan terhadap Barat yang dipimpin amerika serikat dalam melawan eksistensi Islam fundamentalis.
Dalam perjalanannya ternyata liberalisasi masyarakat dunia Islam tidak sesuai harapan Barat. Demokrasi dunia Islam tidak otomatis menumbuhkan kebudayaan modernitas dan menyuburkan ideologi universal di luar tanah asalnya. Kosmopolitanisme tampaknya tidak tumbuh merata diseluruh penjuru banyak negeri bekas jajahan. Sebaliknya demokratisasi telah menyuburkan parokhialisasi, dimana politik identitas Islam justru makin menguat dan mendapat dukungan mayoritas pemilih. Kelompok Islam fundamentalis meyakini bahwa kebangkitan Islam menjadi bagian dari gerakan kemerdekaan menentang bentuk penjajahan baru Barat.
Hal itu membuat Barat merasa berang dan menganggap kalau fundamentalis Islam telah membajak demokrasi untuk memasukan ideologi mereka melalui cara yang konstitusional, cotohnya yang terjadi di Al-Jazair pada sekitar tahun 1991. Kekuatan hegemoni Barat jelas terlibat dalam pembatalan kemenangan FIS (front Islamique du salut) oleh rezim militer. Hal yang sama dilakukan terhadap Partai Refah di Turki dan HAMAS di Palestina.
Fenomena diatas menunjukan kalau sebenarnya demokrasi yang di kehendaki Barat adalah demokrasi dalam ’cita rasa Barat’ yang menumbuhkan modernisme serta menolak identitas politik Islam yang anti sekulerisme. Lebih dari itu, kedok pembebasan dan demokratisasi dunia Islam seringkali dipakai Barat dalam mencengkramkan kukunya di dunia Islam, contohnya pendukan militer Amerika Serikat terhadap Afghanistan dan Irak. Semua itu semakin mempertegas paradigma realisme politik bahwa struktur dominasi dunia tidak bisa mengakomodasi identitas masyarakat yang anti demokrasi Barat terutama kalangan Islam fundamentalis. Oleh karena itu Barat merancang berbagai macam strategi untuk menghancurkan gerakan tersebut, diantaranya melalui isu terorisme.

Islam dan terorisme.

Terminologi Terorisme di dunia internasional telah bias dan selalu dikaitkan dengan umat Islam. Bahkan, Amerika Serikat telah memanfaatkan isu terorisme sebagai dalih untuk campur tangan diberbagai negara termasuk Indonesia. Wacana ‘terorisme’, juga selalu dilaitkan dengan radikalisme, fundamentalisme, ataupun militanisme yang ujung ujungnya mengarah kepada pendiskreditan umat Islam, terutama yang berhluan keras. Pembahasan masalah terorisme sering dikaitkan dengan konsep-konsep dalam Islam semisal jihad dan penegakan syariat Islam.
Meletakkan fenomena terorisme dalam spektrum kehidupan yang kompleks seperti sekarang ini bukanlah perkata yang mudah. Perebutan kepentingan dan hegemoni berlangsung di setiap ruang kehidupan di muka bumi ini. Dalam lalu-lintas dunia yang rumit dan sarat kerakusan itulah terorisme memperoleh ruang untuk tumbuh subur. Arogansi negara, kelompok, dan siapapun yang digdaya tak akan pernah ada habisnya, oleh karena itu pelaku teror bisa siapa saja. Bisa perorangan atau kelompok, bahkan ada terorisme negara (state-terorism).
Terorisme selalu menyimpan banyak kemusykilan, sekaligus keganjilan, sebab dan polanyapun beragam, tapi hasil akhirnya sama yakni ketakutan, ketidakamanan, dan korban. Akan tetapi jika semua itu dikaitkan dengan Islam rasanya itu bukan suatu yang tepat. Yang mungkin terjadi isu terorisme justru sengaja dipakai Barat untuk mendiskreditkan Islam. Kemungkinan lain, ajaran Islam dipahami dengan perspektif yang salah oleh sekelompok kecil umat Islam sehingga terjadi penyelewengan berupa aksi kekerasan dan terorisme.
Munculnya permusuhan Islam dan dunia Barat pada era modern ini terjadi ketika Barat sudah tidak lagi menemukan musuh besarnya, yakni komunisme. Oleh karena itulah barat mengarahkan kekuatannya untuk menghalau kekuatan lain yang berpotensi mengancam peradaban mereka, dalam hal ini Islam. Permusuhan itu semakin diperuncing dengan ulah dunia Barat sering melakukan intervensi atas bangsa-bangsa Islam karena ingin merebut sumber daya alam yang masih melimpah. Ketika muncul perlawanan terhadap kesewenang-wenangan Barat saat itulah tumbuh radikalisme.
Jadi sebenarnya aksi terorisme lebih sering muncul sebagai reaksi terhadap kesewenang-wenangan Barat terhadap dunia Islam. Amerika dan sekutu-sekutuya telah terlalu banyak turut campur tangan dalam urusan dalam negeri dan bersikap arogan di berbagai negara Islam. Terlalu banyak darah kaum muslimin yang tercecer di tanah kelahiran mereka sendiri seperti di Afghanistan, Irak. Dengan dalih memberantas terorisme, menegakkan HAM, demokrasi dan setumpuk propaganda lainnya mereka tega merobohkan rumah-rumah dan membunuhi penghuninya. Padahal sejatinya itu semua hanya kedok Imperialisme gaya baru yang coba diterapkan atas dunia Islam. Jutaan warga sipil yang menjadi korban agresi mereka itu tak sebanding dengan korban yang jatuh dalam peristiwa 11 september di Manhattan. Belum lagi korban umat Islam yang timbul dari berbagai dukungan mereka terhadap kediktatoran rezim militer diberbagai negara Islam. Itulah aksi terorisme yang sesungguhnya. Artinya jika Amerika Serikat dan sekutunya mengatakan para teroris sebagai ’biadab’, maka sesungguhnya mereka telah mengatakan dirinya sendiri sebagai ’biangnya kebiadaban’.
Dalam kebijakan luar negerinya, Amerika Serikat juga sering menerapkan standar ganda, hal ini secara mudah dapat dilihat dalam konflik Palestina-Israel. Perjuangan bangsa palestina untuk memerdekakan diri sering dianggap sebagai tindakan terorisme, sedangkan tindakan agresi Israel dianggap sebagai upaya mempertahankan diri. Di Palestina, pasukan bersenjata dan tank-tank Israel menghancurkan desa dan kota, meratakannya dengan tanah serta membunuh laki-laki, perempuan dan anak-anak tak berdosa. Semuanya ini dilakukan atas persetujuan Amerika dengan hak vetonya di Dewan Keamanan PBB.
Sebenarnya dalam logika penjajahan, merupakan kewajaran kalau negara yang terjajah –dalam hal ini Palestina- berusaha melepaskan diri dari penjajahnya dengan cara apapun. Merupakan kewajaran pula kalau Amerika dan sekutunya melakukan berbagai kesewenang-wenangan diberbagai negara Islam sehingga membuat umat Islam bereaksi. Namun secara cerdik Amerika Serikat dan Barat menggelindingkan ’bola panas’ terorisme dalam menanggapi reaksi dunia Islam itu.
Sebagai agama, ajaran Islam sudah pasti menentang segala bentuk dan tindakan terorisme. Namun dalam pelaksanaan oleh para pengikutnya, agama Islam kerap maju sebagai sosok politik dan ideologi. Dengan begitu, hampir pasti tak bisa mengelak jika dipakai oleh para aktivis Islam ekstrim untuk melakukan justifikasi bagi aksi kekerasan terorisme.  Ummat Islam yang hidup dalam kemiskinan dan kebodohan serta ketidakadilan adalah lahan subur untuk berpikir secara radikal. Mulailah dipelintir kata-kata penting dalam Islam. Misalnya jihad dan syariat serta beragama yang kaffah dalam pengertian yang sempit.
Kita patut mencermati tulisan Karen Armstrong dalam artikelnya yang dimuat dalam harian Inggris terkemuka The Guardian, sebagaimana dikutip oleh swaramuslim.com. Dia menuliskan bahwa, "Kita membutuhkan satu kata yang lebih pas dari sekedar kata 'teroris Islam'. Al-Qur'an melarang peperangan yang bersifat menyerang, perang dibolehkan hanya untuk kepentingan mempertahankan diri dan nilai-nilai Islam yang benar mengajarkan perdamaian, rekonsiliasi dan pemberian maaf."
Armstrong , juga mengkritik stereotipe kata 'Jihad' yang berasal dari bahasa Arab yang semata-mata diartikan dengan perang suci. Menurutnya para ekstrimis dan politikus yang tidak bermoral sudah mencuri kata itu untuk tujuan-tujuan mereka sendiri, makna sebenarnya dari Jihad bukan hanya 'perang suci' tapi 'perjuangan' atau 'ikhtiar'. Umat Islam diperintahkan untuk berjuang sekuat tenaga di berbagai aspek-sosial, ekonomi, intelektualitas, etika dan spiritual-untuk melaksanakan perintah Tuhan dalam kehidupan sehari-hari (swaramuslim.com).










Daftar Pustaka

Borradori, Giovanna. 2005. Filsafat Dalam Masa Teror. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
Esposito, John L.. 2003. Unholy War, Teror Atas Nama Islam. Yogyakarta: Ikon Teralitera
Rahmat, M. Imdadun. 2005. Arus Baru Islam Radikal, Transmisi Revivalisme Islam Timur Tengah Ke Indonesia. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Turmudi, Endang ed. 2005. Islam Dan Radikalisme di Indonesia. Jakarta: LIPI Press.
Jurnal tashfirul afkar. 2002. Menggugat Fundamentalisme Islam. Jakarta: LAKPESDAM NU
http://www.swaramuslim.com. Kolom opini 10 May 2006 - 5:00 pm